Selama 40 tahun Musa mendampingi bangsanya berziarah menuju tanah terjanji. Tentu ini sangat membosankan dan membuat kegelisahan tersendiri bagi umat Israel. Bahaya kehausan dan kelaparan terus membayangi perjalanan mereka di padang gurun. Gambaran mereka sebelum keluar dari Mesir tentulah indah: Betapa enaknya jadi bangsa merdeka, betapa nikmatnya mempunyai tanah air sendiri, betapa indahnya kebersamaan dalam kalangan suku dan budaya yang sama, dst, dst! Ternyata perjalanan menuju tanah terjanji tidak mudah, banyak kesulitan dan tantangannya. Sementara perjalanan masih jauh dan rasanya tidak akan pernah sampai.
Perziarahan hidup kita juga demikian. Banyak orang yang sudah lama hidup bersama, entah dalam hidup berkeluarga atau bersama komunitas tertentu mengalami kekecewaan. Sudah sekian tahun hidup bersama, tetapi kebahagiaan yang dulu diimpikan tidak kunjung datang. Teman hidup yang dulu ramah, penuh pengertian, sabar, kini berubah menjadi monster yang menjemukan. Teman yang dulu seperjuangan, kini menjadi musuh, sehingga aku bosan melihatnya! Tanah air kebahagiaan yang dulu seakan dijanjikan pada awal pengabdian kita ternyata tidak segera menjadi kenyataan. Sebaliknya kini harus menghadapi aneka persoalan hidup bersama. Inilah godaan besar seorang peziarah, mudah merasakan betapa tujuan perziarahan yang diimpikan belum kunjung tiba.
Dalam situasi seperti ini muncul godaan untuk mencobai Allah. Memprotes dan memberontak Allah. Mencobai Allah berarti menunjuk kekurang-percayaan, meragukan kesetiaan dan kebaikan Allah. Menyalahkan Allah dan memandang Dia sebagai sumber mala petaka. Bagi kita godaan ini sangat konkrit: mudah tidak puas terhadap apa yang terjadi pada keluarga kita. Misalnya, dengan istri atau suami, tidak puas dengan orang tua, pimpinan, rekan sekerja, dst. Kalau sudah tidak percaya akan Allah penyelamat godaan yang lain adalah menyembah allah-allah lain. Umat Israel menyembah dewa-dewi kafir, menyembah berhala. Penyembahan berhala zaman ini berbentuk macam-macam: ada yang berbentuk uang, jabatan, pangkat, kehormatan dan juga hiburan. Ketika peran sentral Tuhan digeser dari hidup orang, disitulah secara tidak langsung sudah terjadi penyembahan allah-allah lain. (LS)