Ada orang yang merasa aman ketika dekat dengan orang yang punya kuasa dan berpengaruh. Pikirnya selama bersama dia, semuanya beres dan terjamin bahkan tidak akan ada yang mengganggunya. Semua aman. Perasaan, pemikiran dan bahkan penghayatan yang demikian tentu tidak pas, karena yang punya kuasa dan berpengaruh itu bukan dirinya tetapi orang lain. Ini saya istilahkan dengan latah. Orang bertindak seolah-olah orang lain itu adalah dirinya. Dari kenyataan ini saya membayangkan orang-orang Yahudi yang mulai mengenal dan tertarik pada Yesus. Yesus adalah sosok pribadi yang bisa membawa perubahan pada kehidupan mereka, bahkan bisa menjamin kesejahteraan hidup mereka. Dan mungkin ini dilatarbelakangi oleh beban yang harus mereka pikul selain dari kaisar juga para pemuka agama yang menekankan kewajiban untuk menjalankan peraturan-peraturan dalam Taurat. Hadirnya Yesus memberikan harapan baru dan masa depan bagi mereka. Mereka merindukan pembebasan dari segala beban itu, dan Yesuslah yang mereka pandang sebagai yang bisa menjadi penyelamat mereka. Cara pandang demikian tentu bukan seperti yang Tuhan Yesus maksudkan dengan kedatangan-Nya di tengah-tengah dunia ini. Mereka memandang Yesus lebih sebagai tokoh politik. Ini saya mengistilahkan mereka latah. Dalam kotbahnya di bukit, Yesus berkata, “Janganlah kalian menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakannya sekalipun yang paling kecil dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga. Tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi dalam Kerajaan Surga” Mat. 5:17-19. Menjadi jelas di sini bahwa apa yang ada dalam Taurat baik adanya dan segala yang tertulis didalamnya serta yang ada dalam Kitab para Nabi mengarah dan memuncak dalam diri Yesus. Yang ada dibiarkan tetap ada dan disempurnakan oleh Yesus dengan cinta kasih-Nya.
Di sini orang-orang yang percaya dan menerima Tuhan Yesus diajak untuk menerima-Nya sebagai Tuhan yang tetap memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk bertanggungjawab atas hidup dan yang dilakukannya. Yesus sebagai Tuhan tidak menjadi tukang sulap yang berkenan merubah apa saja seperti yang diinginkan oleh manusia, melainkan sebagai Tuhan yang berkenan memberdayakan potensi-potensi setiap orang untuk bertumbuh, berkembang dan menghasilkan buah-buah. Kita sebagai orang yang percaya tidak latah menjadi tuhan, melainkan sebagai orang yang rendah hati menggantungkan hidup pada penyelenggaraan Tuhan. Kita bisa karena Tuhan menyelenggarakan. (TS)