Kita sering mendengar ungkapan “Orang jujur akan makmur, orang tidak jujur akan hancur”. Tetapi dalam kenyataannya justru malah sering sebaliknya,: “Orang jujur hancur dan orang tidak jujur akan makmur”. Juga dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar orang berkata, “Zaman sekarang ini mana ada orang jujur?”. Demikianlah kejujuran seperti barang langka dan teramat mahal harganya sekarang ini. Karena tuntutan ekonomi, gaya hidup sehingga orang berani mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya. Arti kata jujur adalah lurus hati, tidak berbohong, tidak curang. Jujur berarti ya adalah ya, atau tidak adalah tidak. Sedangkan lawan dari jujur adalah dusta atau bohong, mencuri dan munafik.
Melalui Injil hari Minggu ini, Yesus menegaskan: Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”(Lukas 6:42). Mudah menilai, menghakimi orang dan tidak melihat kekurangan diri sendiri adalah sikap yang munafik, tidak jujur terhadap dirinya sendiri! Untuk mencapai perkembangan kristiani yang dewasa, diperlukan sikap jujur, karena tanpa kejujuran semua tujuan yang baik akan berantakan dan kandas. Jika kita tidak jujur, kita mudah masuk dalam jerat setan. Mudah mengingkari kehendak Tuhan dan Ajaran Gereja.
Bagi kita sebagai orang kristiani, kejujuran adalah nilai yang menjadi bagian hidup keberimanan kita, karena Tuhan sendiri menghendaki demikian. Kejujuran merupakan sarana utama agar kita dapat bersatu dengan Tuhan dan sesama. Oleh karena itu walaupun lain kali harus banyak berjuang, bersikap jujur adalah ungkapan pengorbanan, syukur dan persembahan kita. Dalam Kitab Sirakh: “Persembahan orang jujur melemaki mezbah dan harumnya sampai kehadapan yang mahatinggi, Tuhan berkenan kepada korban yang benar, dan ingatan-Nya tidak akan dilupakan (Sirakh 35: 5-6).
Lalu apa akibatnya orang yang berlaku tidak jujur? Nabi Hosea berkata kepada bangsanya, “Orang-orang yang hatinya curang itu sekarang harus menanggung akibat dosanya” (Hos 10:2). Rasa bersalah termasuk emosi yang paling kuat, dan ini akan melekat pada hati orang yang tidak jujur seperti ular sanca, mencekik kehidupan dari korbannya. Ketidakjujuran merusak jalan seseorang menuju Tuhan. “Tuhan, siapa yang boleh menumpang di kemahmu?” “Siapa yang boleh tinggal di bukit-Mu yang suci? Orang yang hidup tanpa cela dan melakukan yang baik, dan dengan jujur mengatakan yang benar” (Mazmur 15:1-2).
Setiap kebohongan melahirkan kebohongan lainnya, setiap penipuan menimbulkan penipuan lainnya. Seperti orang yang memojokkan dirinya, hati yang tidak jujur segera terjerat oleh penipuannya sendiri. “Nama baik lebih berharga daripada harta yang banyak; dikasihi orang lebih baik daripada diberi perak dan emas” (Amsal 22:1).
Kita harus berani menerima konsekuensi apa adanya. Kadang kita memilih berbohong karena ingin lari dari konsekuensi perbuatan kita. Menerima konsekuensi perbuatan memang bisa berakibat buruk tetapi kita senantiasa mesti mengingat bahwa pada akhirnya kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan. Mungkin kita dapat lari dari manusia, tetapi kita tidak akan dapat lari dari Tuhan. (LS)